Senin, 28 Januari 2008

SISTEM PENGELOLAAN BANJIR BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT

RINGKASAN

Pertumbuhan penduduk perkotaan lebih tinggi dibandingkan di kawasan perdesaan.
Alasan utamanya adalah tingginya arus urbanisasi dari desa ke kota. Kebutuhan lahan untuk permukiman, pengembangan sarana-prasarana, dan fasilitas lain terus meningkat. Lahan terbuka makin terbatas, konsekuensi hidrologisnya adalah proporsi air hujan yang menjadi limpasan permukaan meningkat, sebaliknya pengisian air tanah makin menurun. Sistem drainase kelebihan beban, meluap dan terjadilah banjir. Di lain pihak meningkatnya jumlah penduduk juga berarti meningkatnya kebutuhan air bersih. Sampai saat ini jutaan orang belum mendapat layanan air bersih, mereka masih mengandalkan sumur, baik sumur dangkal maupun sumur dalam, sebagai sumber air bersih. Penyedotan air tanah meningkat, sementara pengisiannya menurun. Defisit air tanah terjadi di berbagai wilayah. Pemanenan air hujan (PAH) adalah suatu pilihan yang menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan air bersih sekaligus mengurangi beban drainase. Teknologinya sederhana dan sudah banyak dipraktekkan sejak jaman nenek moyang, biayanya juga murah.

PENDAHULUAN

Banjir tidak hanya menyebabkan genangan pada lahan pertanian, tetapi juga pada lahan perkotaan, sehingga kerusakan yang ditimbulkan juga tidak hanya gagal panen, tetapi juga meluluhlantakkan perumahan dan permukiman, serta fasilitas pelayanan sosial-ekonomi masyarakat dan prasarana publik, bahkan sering juga menelan korban jiwa.

Upaya pengelolaan banjir telah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, namun sampai saat ini banjir masih menghantui masyarakat setiap kali datang musim penghujan, khususnya di daerah rawan banjir. Sejauh ini penanganan banjir masih terfokus pada usaha-usaha teknis dan masih didominasi oleh peran pemerintah, masyarakat belum ”dilibatkan” secara aktif.

PENYEBAB BANJIR

Berbagai kajian yang telah dilakukan, dinyatakan bahwa banjir yang melanda daerah rawan banjir, pada dasarnya disebabkan dua kelompok faktor, yaitu pertama faktor-faktor tak terkendali (uncontrollable factors), atau orang sering menyebutnya faktor alamiah, dan yang kedua faktor-faktor terkendali (controllable factors), yang juga disebut faktor manusia.

Faktor Alamiah

Faktor alamiah ada yang bersifat statis, sepeti topografi, geologi, dan geoteknik, dan ada yang bersifat dinamis, meliputi curah hujan, kenaikan permukaan air laut, badai, dan sebagainya.

Faktor Manusia

Faktor-faktor yang muncul akibat kegiatan manusia, yang meliputi tata ruang yang tidak sesuai dengan fungsi lahan, perubahan guna lahan, penurunan permukaan tanah, degradasi lingkungan seperti hilangnya tumbuhan penutup tanah pada catchment area, pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai dan sebagainya.

Pertumbuhan kawasan perkotaan yang sangat cepat di negara berkembang berdampak pada peningkatan permasalahan bencana. Konsekwensi dari pertumbuhan ini adalah luasan sawah, kolam dan rawa di dataran banjir, yang semula berfungsi sebagai waduk alamiah untuk air banjir, telah dikonversi menjadi kawasan kedap air untuk permukiman, kawasan komersial, industri beserta fasilitas pendukungnya seperti jalan, pertokoan, dan lapangan parkir. Perlu diingat bahwa meningkatnya urbanisasi pada dataran banjir berdampak pada peningkatan kerentanan terhadap banjir sampai pada tingkat yang membahayakan.

Fakta menunjukkan bahwa perkembangan urbanisasi jauh lebih cepat dibandingkan dengan skala penyediaan perlidungan terhadap pengendalian banjir dan drainase. Jika proses ini hanya ditujukan untuk analisis kerentanan, maka akan menghasilkan problem banjir yang baru yang sulit untuk di atasi. Pelanggaran pengembangan pada kawasan perbukitan akan meningkatkan potensi bencana. Jika terjadi curah hujan dengan durasi dan besaran yang hujan rencana (besar), sangat mungkin terjadi banjir bandang (flash flood) pada waktu yang sangat pendek, yang dapat menimbulkan tanah longsor (landslides).

Pemompaan air tanah menjadi faktor berikutnya yang meningkatkan kerentanan terhadap banjir pada dataran banjir dan dataran rendah kawasan pantai. Jika air tanah dipompa secara berlebihan, penurunan muka tanah (land subsidence) sangat mungkin terjadi dan diikuti dengan kejadian banjir yang lebih besar.

Oleh karena itu menjadi sangat penting untuk melakukan pengendalian tata guna lahan, dengan mempertimbangkan faktor lingkungan, sosial, dan ekonomi. Dan yang lebih penting adalah mempertahankan keseimbangan siklus hidrologi. Usaha ini hanya akan berhasil jika semua komponen pengguna air ikut terlibat secara aktif.

DAMPAK BANJIR

Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang jamak terjadi di muka bumi ini. Banjir dapat terjadi di mana saja, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di negara dengan curah hujan cukup tinggi, seperti di Indonesia, potensi terjadinya banjir relatif besar. Apalagi dipicu oleh kondisi daerah aliran sungai yang berkemiringan terjal dan kondisi penutupan lahan yang sudah terganggu.

Banjir merupakan bencana yang paling sering terjadi di Indonesia, dengan kerugian yang paling besar pula. Banjir yang melanda Jakarta pada awal Februari 2007, yang menggenangi 70% kota Jakarta dan kota-kota di sekitarnya seperti Bekasi, Tangerang, Depok, dan Bogor, dengan beragam ketinggian dari 50 sentimeter sampai 5 meter, menyebabkan kerugian yang luar biasa besar. Diperkirakan kerugian mencapai 1,8 triliun per hari, mulai dari kerugian infrastruktur sampai dengan korban jiwa. Tercatat 57 orang meninggal dunia, 57.600 orang luka ringan, dan 420.440 jiwa masih berada di tempat pengungsian yang tersebar di seluruh wilayah DKI Jakarta, Bekasi, Tangerang dan Depok

Pendek kata, banjir merupakan bencana besar dengan kerugian yang sangat besar, tidak hanya berupa harta benda, tapi juga jiwa. Bencana banjir adalah bencana yang terjadi bukan hanya karena faktor alamiah alam, namun lebih banyak karena campur tangan manusia. Bencana banjir merupakan bencana yang dapat diprediksi, dapat diantisipasi, dan “bisa dikendalikan”, tapi kenapa hal ini masih terus terjadi?

KEBIJAKAN PENGELOLAAN BANJIR

Terjadinya serangkaian banjir dalam waktu relatif pendek dan terulang tiap tahun, menuntut upaya lebih besar mengantisipasinya, sehingga kerugian dapat diminimalkan. Berbagai upaya pemerintah yang bersifat struktural (structural approach), ternyata belum sepenuhnya mampu menanggulangi masalah banjir di Indonesia. Penanggulangan banjir, selama ini lebih terfokus pada penyediaan bangunan fisik pengendali banjir untuk mengurangi dampak bencana.

Selain itu, meskipun kebijakan non fisik yang umumnya mencakup partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir sudah dibuat, namun belum diimplementasikan secara baik, bahkan tidak sesuai kebutuhan masyarakat, sehingga efektifitasnya dipertanyakan.

Kebijakan sektoral, sentralistik, dan top-down tanpa melibatkan masyarakat sudah tidak sesuai dengan perkembangan global yang menuntut desentralisasi, demokrasi, dan partisipasi stakeholder, terutama masyarakat yang terkena bencana. Pertanyaannya adalah siapa yang disebut masyarakat? Seberapa jauh masyarakat dapat berpartisipasi? Dan pada tahapan mana masyarakat dapat berpartisipasi?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, harus menjadi pertimbangan dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir. Kekeliruan perumusan kebijakan tersebut menyebabkan berbagai kepentingan individu/kelompok lebih dominan, kemudian kebijakan dimanfaatkan untuk kepentingan negatif.

Akibatnya kebijakan yang ditetapkan tidak efektif, bahkan tidak brerhasil. Dengan demikian, penanggulangan banjir yang hanya melulu pembangunan fisik (structural approach), harus disinergikan dengan pembangunan non fisik (non-structural approach), yang menyediakan ruang dan alternatif lebih luas bagi munculnya partisipasi masyarakat, sehingga hasilnya lebih optimal.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka kebijakan penanggulangan banjir yang bersifat fisik yang didominasi oleh peran pemerintah, harus diimbangi dengan langkah-langkah non-fisik, sehingga peran masyarakat dan stakeholder lainnya diberi tempat yang sesuai.

KONSEP PENGELOLAAN BANJIR

Secara lengkap siklus pengelolaan banjir terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu: Pencegahan (Prevention), Penanganan (Intervention/response), dan Pemulihan (Recovery). Dalam tulisan ini pembahasan dibatasi pada komponen pertama saja.

Pencegahan (prevention) terhadap bencana banjir dapat dibedakan dalam beberapa kategori, mulai dari yang paling mendasar sampai tindakan darurat.

Penurunan Beban Banjir

Air yang mengalir di sungai berasal dari air hujan yang jatuh di Daerah Aliran Sungai (DAS) atau watershed, sehingga prioritas utama kegiatan penanganan banjir dilakukan di DAS, melalui pengelolaan DAS (watersehd management). Pengelolaan DAS yang tepat dapat mengurangi kerugian banjir dengan jalan menurunkan dan/atau menahan limpasan permukaan yang akan masuk ke sungai dan meningkatkan resapan / pengisian air tanah. Secara garis besar kegiatan pengelolaan DAS dapat dikelompokkan menjadi dua grup, yaitu pertama perbaikan penutup lahan dengan tanaman, penghutanan kembali, rotasi tanaman, dll. Fungsi utama kegiatan ini adalah meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah.

Kelompok kedua meliputi kegiatan teknik seperti terrasering, penanaman menurut kontur, gully plug, check dams, bangunan outlet, groin, dan bangunan tampungan air, dll., yang berfungsi menurunkan dan/atau menunda sementara limpasan permukaan, mencegah erosi dan longsor, dan mengurangi beban sedimen di sungai.

Pengelolaan DAS pada kawasan perkotaan dapat dilakukan dengan cara yang sedikit berbeda dengan yang dijelaskan di atas, namun mempunyai fungsi yang sama, yaitu dengan apa yang dekenal sebagai fasilitas pemanenan air hujan (rainwater harvesting), dan penerapan konsep Bioretention.

1. Pemanenan Air Hujan (Rainwater Harvesting = RWH)

Penerapan teknologi pemanenan air hujan yang tepat memungkinkan mengubah air hujan sebagai sumber bencana menjadi barang bernilai. Sebenarnya fasilitas pemenenan air hujan sudah diterapkan oleh nenek moyang bangsa Indonesia ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Hal ini terlihat pada tata permukiman tempo dulu, di mana di halaman kanan, kiri, dan belakang rumah selalu ada parit atau kolam (bhs Jawa belumbang) sebagai panampung air hujan. Juga adanya larangan mengurug sumur-sumur tua yang sudah tidak difungsikan.

Tujuan


Tujuan pengembangan dan penerapan fasilitas pemanenan air hujan diantaranya adalag sbb.:
  • Meningkatkan keberlanjutan ketersediaan air permukaan dan air tanah
  • Konservasi air dengan menampung kelebihan air yang akan masuk sungai dan mengurangi air yang terbuang percuma ke laut selama musim penghujan
  • Mengamankan kawasan perkotaan maupun perdesaan dari banjir dengan menahan air di daerah tangkapannya
  • Menurunkan laju erosi
  • Memperbaiki lingkungan perkotaan maupun perdesaan
  • Memperbaiki kualitas air.
Komponen
  • Hujan : hujan merupakan sumber sumber yang dipanen
  • Daerah tangkapan: areal di mana hujan terjadi
  • Siatem pembawa : fasilitas yang membawa air dari daerah tangkapan ke peresapan atau penampungan
  • Fasilitas penyimpanan : di permukaan tanah, di bawah permukaan tanah, atau akifer.
Metode

Secara garis besar fasilitas pemanenan air hujan dapat dikelompokkan menjadi 2 golongan, yaitu fasilitas penampungan, dan fasilitas peresapan.

Fasilitas penampungan air hujan dapat diterapkan hampir di sembarang lokasi, baik di daerah hulu maupun di daerah hilir, kawasan perkotaan maupun perdesaan. Bak tampungan dapat di atas permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah. Gambar 2 memperlihatkan salah satu contoh bak penampung air hujan, berupa bak dari beton atau pasangan batu bata.

Fasilitas resapan penerapannya lebih terbatas, karena memerlukan persyaratan tertentu, yang meliputi permeabilitas tanah, dan kedalaman air tanah. Fasilitas resapan yang sederhana, misalnya berupa kolam resapan, parit resapan, dll.

Yang perlu diperhatikan bahwa hanya air bersih yang diperbolehkan masuk ke sumur resapan. Hal ini untuk menjaga supaya tidak terjadi pencemaran air tanah. Untuk kawasan perkotaan, air yang dimasukkan ke dalam sumur resapan hanya air hujan yang jatuh di atap yang disalurkan melalui talang.

2. Bioretention

Bioretention adalah penyesuaian penataan lansekap (landscaping features) untuk mengolah limpasan permukaan air hujan. Bioretentio sering diterapkan pada lahan parkir, dan taman-taman kota, namun dapat juga diterpkan pada taman kecil pada permukiman. Selain ditutup tanaman, bioretention dibuat lebih rendah dari sekitarnya untuk menampung dan menyaring hujan awal yang jatuh pada permukaan perkerasan (Gambar 2). Bioretention didisain sedemikian rupa sehingga limpasan permukaan dapat diarahkan ke lahan yang tertutup tanaman. Tanaman menyerap air hujan dan menyaring polutan dari limpasan. ering, air yang tersaring dialirkan melalui pipa porus di bagian bawah struktur bioretention, dan dikembalikan ke sistem drainase.

Bioretention cocok dipakai untuk pengelolaan air hujan di sistem drainase kecil, seperti pada lahan parkir, permukiman individual. Namun demikian, bioretention dapat diterapkan di hampir semua kondisi tanah.

Modifikasi Aliran Banjir

Perlindungan banjir prioritas kedua dapat dilakukan dengan memodifikasi aliran banjir yang masuk ke sungai, dengan menyediakan waduk untuk menampung atau menunda debit yang berlebihan sehingga tinggi banjir di hilir dapat dikurangi. Secara umum, kegiatan ini dilakukan dengan membangun waduk di sungai utama dan/atau anak-anak sungai, dalam beberapa kasus, dengan pembangunan retarding basins di bagian tengah sungai. Jika dioperasikan dengan tepat, dan dikombinasikan dengan sistem peramalan banjir yang efisien, waduk mampu berfungsi sebagai pengendali banjir yang mumpuni.

Pembangunan waduk besar memerlukan lahan yang luas dan dana yang besar. Saat ini pembangunan waduk besar sangat tidak mudah, pembangunan waduk mudah memicu gangguan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Resettlement, khususnya warga petani, sering menghadapi kesulitan di daerah dengan tekanan penduduk sangat tinggi.

Waduk yang sudah ada, walaupun seandainya telah dikelola dengan baik melalui manajemen DAS dan pengendalian erosi, secara perlahan tapi pasti akan terisi oleh sedimen yang akan menurunkan kapasitas dan berpengaruh pada perilaku sungai bagian hilir. Dengan segala keterbatasan fisik, sosial dan ekonomi tersebut, pengembangan waduk baru tetap akan terus diusahakan, mengingat fungsinya disamping sebagai pengendali banjir juga sebagai penyedia air di musim kemarau. Pembangunan waduk diarahkan untuk waduk kecil, dengan nama embung atau lumbung air.


Meningkatkan Kapasitas Sistem

Jika prioritas pertama dan kedua belum mampu mengendalikan banjir, maka langkah berikutnya adalah meningkatkan kapasitas sungai dengan kegiatan perbaikan sungai dan pembangunan pengelak banjir. Kegiatan perbaikan sungai meliputi pembersihan, pelurusan, pelebaran, pendalaman sehingga memperbaiki kapasitasnya. Peningkatan kapasitas juga dapat dilakukan dengan meningkatkan kemiringan dasar saluran, menurunkan kekasaran sehingga kecepatan air meningkat, dan tinggi banjir menurun.

Bangunan pengelak banjir berfungsi mengalirkan kelebihan dabit banjir yang tak tertampung di sungai utama ke saluran emergensi. Bangunan ini sering digunakan untuk mengendalikan banjir besar di kawasan perkotaan yang terletak di bagian hilir sungai dekat pantai

Meminimalkan Kerugian Banjir

Usaha terakhir yang dapat dilakukan setelah ketiga kegiatan di atas sudah maksimal dan banjir masih akan terjadi adalah meminimalkan kerugian banjir, melalui kegiatan (1) persiapan mengahadapi banjir, dan (2) perlawanan terhadap banjir (flood fighting).

Kegiatan persiapan menghadapi banjir dapat dipersiapkan jauh hari sebelum terjadi banjir, dan bersifat permanen. Kegiatan ini meliputi pengelolaan dataran banjir, zonasi dataran banjir, land-development policies, pembangunan rumah tahan banjir, rumah panggung, evakuasi permanen, sistem peringatan dini banjir, dan asuransi banjir.

Termasuk ke dalam kegiatan perlawanan terhadap banjir adalah evakuasi, penyelamatan korban banjir, pemetaan bencana, serta kegiatan perbaikan atau rehabilitasi dan rekonstruksi.


REKOMENDASI

Pengendalian banjir yang dilaksanakan sampai saat ini sebagian besar masih terfokus pada peningkatan kapasitas sungai, dengan melakukan “normalisasi sungai”. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banjir masih terus terjadi, dan bahkan makin meluas, seolah apa yang telah dilaksanakan dengan dana yang tidak sedikit, tidak ada artinya. Peningkatan kapasitas sungai tidak sebanding dengan peningkatan debit akibat perubahan karakteristik DAS yang ditimbulkan oleh perubahan penutupan lahan.

Oleh karena itu direkomendasikan untuk mengubah pola pengendalian banjir dari peningkatan kapasitas sungai menjadi penurunan beban atau debit banjir dengan pengelolaan daerah aliran sungai yang tepat, baik di hulu tengah, maupun hilir dataran banjir).

Kebijakan nasional dalam rangka mengatasi masalah banjir perlu segera disusun/ditinjau kembali, disesuaikan dengan perkembangan dan paradigma baru termasuk penyelenggaraan otonomi daerah.

Penerapan fasilitas pemanen air hujan harus segera digalakkan, semua stakeholder harus dilibatkan secara aktif.

DAFTAR PUSTAKA

Suripin (2004). Pengembangan Sistem Drainase yang Berkelanjutan. Andi Offset, Yogyakarta

Siswoko (1993). Flood Damage Mitigation In Indonesia, International Symposium On Management Of Rivers For the Future, Kuala Lumpur, November 1993

WALHI (2007). Banjir Jakarta, 2007. www.walhi.or.id/kampanye/ bencana/banjirlongsor/070208_bnjr_jkt_2007_li/

WALHI (2003). Sejuta Bencana Terencana di Indonesia. www.walhi.or.id/ kampanye/bencana/banjirlongsor#media

Tidak ada komentar: